25 Nov 2010

ALAY

Alay, kampungan, norak, abnormal, ndeso. Sepotong kata yang bisa dibilang cukup ngetrend akhir-akhir ini. Suatu cap untuk sejumlah orang maupun individu yang berpenampilan berbeda. Serta merta kata alay inipun meluas maknanya hingga menjadikan sifat dan perilaku sebagai objeknya.

Adalah misteri tentang bagaimana dan kapan ungkapan alay ini tercetus.
Bukan bermaksud bersikap skeptis, namun tidakkah masyarakat terlalu berlebihan?
Dari dulu entah mengapa hal ini mampu mengetuk pikiran liar saya.

Apakah
trend selalu disamakan dengan penyeragaman? Apa ada yang salah dengan menjadi
berbeda dan orisinal?
Cih...

Saya justru berbangga dengan meraka yang tidak mencoba untuk membekukuan persepsi. Disaat semua orang dengan seenaknya bisa menginjak-injak privasi dan kebebasan berekspresi.
Dan sekali lagi, kita mencap mereka sebagai alay, apatis, atau apapun itu.

Siapa sebenarnya kita?

Apakah kita sudah lebih suci dan lebih benar sehingga merasa mampu menjadi polisi-polisi moral yang dengan seenaknya bisa memberikan kasta maupun simbol sosial bagi seseorang?
Persetan dengan
trend.

Saat
trend dijual secara masif kepada kita, dipaksakan secara tidak sadar dan menjadikan kita menjadi sesuatu yang bukan kita, atau kasarnya membodohi kita, artinya ada sesuatu yang salah.
Shit, dunia begitu membosankan bila semua orang sama, dengan trend yang disuapi paksa kemulut kita.

Dimana letak kebebasan berekspresi? Punahkah?
Banggalah menjadi diri sendiri.
Ingat! Jangan menjadi hipokrit yang selalu memupuk kebodohan.

Alangkah nikmatnya dunia ini jika kita bisa saling menghargi aspirasi sekitar kita.




Cheers.
Edeg!

2 komentar: